“Wita, Pak Arya sedang kemana?” panggil Bu Santi ke salah staf di bagian Corporate Legal . Wita, gadis yang baru 1 tahun bergabung di perusahaan ini PT. Angin Mamiri, menghentikan langkahnya menuju ruangan.
“Sedang ke Surabaya bu, meninjau pabrik disana?” katanya dengan penuh kesopanan kepada seniornya yang beda bagian. Bu Santi berada di bagian Secretary. Memang dulu, Corporate Legal & Secretary menjadi satu bagian dibawah Pak Arya, akan tetapi sejak setahun yang lalu kesekretariatan dipisahkan.
“Kok kamu tidak diajak Wit?” tanya Bu Santi dengan nada menyelidiki.
“Tidak bu, sudah ada Mba Mita yang ikut dengan Bapak.”
“Wit, kayaknya si Mita mulu yang diajak Pak Arya kalau pergi-pergi. Seharusnya ga begitu dong, setiap orang di kantor ini punya kesempatan untuk dinas di luar kota.” Bu Santi semakin mengeluarkan jurus tanyanya yang penuh selidik dan menghasut.
Wita bingung harus menangapin dengan kata-kata apa pernyataan Bu Santi. Menurutnya wajar saja Mba Mita yang berangkat, selain memang sudah berpengalaman, Mba Mita juga seorang yang cerdas dan kepercayaan Pak Arya. Tapi selalu ada suara-suara sumbang yang ia dengar mengenai Mba Mita. Orang-orang di kantor sering membicarakan Mba Mita dan Pak Arya, mereka mengatakan bahwa diantara mereka berdua terjadi affair. Wita sendiri yang sering berada diantara mereka sama sekali tidak menangkap tanda-tanda perselingkuhan, hubungan benar-benar selayaknya bos dan bawahan.
Pernah sekali waktu Wita menyatakan pendapatnya mengenai bosnya dan Mba Mita saat makan siang bersama orang-orang di kantor, akan tetapi orang-orang malah mencemoohkan pendapatnya
“Wita, lo tuh polos atau apa sih?” Wita masih dengan tatapan bengong.
“Jelas dong mereka ga akan menunjukkan hubungan sebenarnya di depan kamu.” kata Shinta dari bagian Marketing.
“Yah itu dia Wit, makanya mereka acapkali dinas luar kota bersama. Saat itulah mereka melakukan perselingkuhannya.” kali ini Dina berpendapat.
“Ah kalian memang pernah lihat? Jangan berburuk sangka dulu.” Wita mencoba menetralisir pendapat rekan-rekan kerjanya.
“Wita, wita, ngapain juga lo bela-belain si Mita, jelas-jelas dia itu ada apa-apanya ama Pak Arya. Atau mungkin Pak Arya jenis lelaki yang tidak puas dengan satu perempuan.” Shinta kembali mengeluarkan pendapatnya.
“Wit, kamu tahu ga kalau Pak Arya belum memiliki anak?”
“Tahu, makanya dia baik sama bawahannya, kami ini dianggap seperti anaknya sendiri.”
“Anak ketemu gede?” Kata mereka secara serempak.
“Kalian ini yah?” Wita semakin tidak tahu harus berkomentar apa, mungkin lebih baik ia memilih untuk diam.
“Mungkin yah Din, Pak Arya mau cari isteri kedua yang bisa memberinya keturunan.”
“Lagian Mita bukan perempuan pertama di kantor yang dia dekati.”
Wita semakin pusing mendengar pergunjingan ini. Baginya, Pak Arya bos yang baik, mau mengajari dan memberi ilmu. Meski kadang menurutnya Pak Arya terlalu baik terhadap anak buahnya, sehingga hal tersebut sering disalahartikan oleh yang melihat bahkan mungkin oleh anak buahnya sendiri. Tapi Mba Mita menurutnya selalu bersikap sesuai dengan porsinya.
********
Hari ada kehebohan di kantor. Mita datang sedikit siang, ia baru saja pergi mengurus dokumen ke Department Perdagangan. Baru saja ia meletakkan pantatnya di kursi kubikelnya, Wita datang menghampirinya.
“Mba..mba… udah dengar kabar belum?”
“Kabar apa Wit?”
“Kemarin kan mba pergi sama Pak Arya, beliau ada membicarakan sesuatu ga?”
“Tidak ada tuh? Napa kita dapat promosi yah?”
“Wah kalau itu sih aku amin aja mba. Tapi bukan itu kabar yang mau aku sampaikan.”
“Terus?”
“Pak Arya resign.”
“Hah?”
Mendadak Mita merasa lemas. Entah perasaan apa yang menghampiri dirinya. Ada rasa kehilangan, kecewa dengan keputusan Pak Arya secara mendadak. Pak Arya adalah bos yang amat baik, ia bisa mendapatkan begitu banyak ilmu dan kesempatan karena Pak Arya. Beliau bukan seorang bos yang diktator, bukan juga bos yang cuek. He really a good leader.
Meski ia pernah merasa kikuk dengan sikap Pak Arya yang hangat, ia sadar sikap Pak Arya yang perhatian benar-benar murni sikap bos ke anak buah. Memang gaya kepemimpinan beliau seperti itu. Mita tahu betul Pak Arya sangat mencintai isterinya dan sangat setia. Selama dinas luar kota bersama, tidak pernah sekalipun Pak Arya menggodanya. Semua murni pekerjaan. Mita tahu orang di kantor membicarakannya seakan ia selingkuhan Pak Arya.
Tiba-tiba telepon di mejanya berdering, membuyarkan lamunannya.
“Halo, selamat siang.”
“Mita, bisa kamu ke ruangan saya sekarang?” suara Pak Arya di seberang sana.
“Iya Pak.”
Ada rasa cemas menghampirinya saat Pak Arya memanggilnya. Entah apa yang akan dibicarakan.
“Masuk Mit.” katanya setelah Mita mengetuk pintu ruangan.
“Duduk Mit, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan.”
“Baik Pak.” seraya Mita duduk di bangku yang berhadapan langsung dengan Pak Arya.
“Pasti kamu sudah mendengar kabar bahwa saya akan resign. Itu betul bulan depan saya sudah tidak disini. Saya mau menemani isteri saya yang mendapat kesempatan sekolah di Inggris. Saya tidak tega membiarkan ia sendirian di luar negeri.”
“Iya pak.”
“Mungkin ini jalan terbaik buat saya dan kamu, dengan saya resign.”
“……”
“Bingung? hahahahah. Begini Mita, orang di kantor mengatakan bahwa saya selingkuh dengan kamu, dan ada seseorang yang menegur sikap saya yang terlihat sangat dekat dan akrab dengan kamu.”
“Loh? dari mana mereka berpendapat seperti itu?”
“Entah, namanya juga mulut orang, sulit untuk kita jaga satu per satu. Selalu akan ada berita miring. Saya pribadi telah menjelaskan ke orang tersebut, bahwa tidak ada hubungan apapun antara saya dan kamu, semua murni karena pekerjaan.”
“Jadi Bapak resign karena alasan ini?”
“Tentu tidak Mit, yah momen nya saja sangat bertepatan. Dengan saya resign akan memudahkan karir kamu dan menghapus semua gosip yang sudah beredar. Semoga saya bisa mengembalikan nama baik kamu.”
“Saya jadi terharu pak. Tidak perlu terlalu begitu pak. Biar saja orang mengatakan apa, nanti seiiring dengan waktu semua akan terjawab.”
“Hahaha, tidak apa-apa. Saya sungguh senang memiliki anak buah seperti kamu, semoga kamu akan menjadi orang sukses kelak.”
Mita pun keluar dari ruangan. Dengan gontai ia berjalan ke arah kubikelnya. Sungguh tega orang membicarakannya. Membicarakan sesuatu yang tidak buktinya pula. Bahkan sesuatu yang tidak terjadi. Padahal Mita tidak pernah mengusik rekan-rekannya, apalagi mencampuri urusan pribadi mereka.
Untuk beberapa saat Mita hanya diam terpaku menghadap ke komputer. Orang kantor tidak tahu bagaimana perasaan dia. Perasaan kehilangan, kehilangan pembimbing, kehilangan kenyaman bekerja, kehilangan teman diskusi.
“Mba…mba…mba kok bengong.” Tiba-tiba Wita sudah berada di samping mejanya.
“Eh Wit.”
“Napa mba?”
“Gak apa-apa.”
“Pasti mba sedih yah?”
“Sedih sih engga, kehilangan aja Wit, lo tahu kan betapa baiknya bos kita. Lo yang masih baru bergabung aja merasakannya kan?”
“Iya mba. Tapi mungkin ada baiknya gini. Gua kasihan ama lo Mba, diomongin selingkuhan mulu ama orang kantor.”
“Emang dengan Pak Arya keluar dari kantor mereka ga akan ngomongin gua?”
“Hehehe, ga juga sih mba.”
“Sudah lah kita kembali bekerja aja yuk.”
“Yuk.”