Mengejar Bayangan


Bayangan itu tak perlu kau kejar

Tak akan kau mampu mengapainya

Lihatlah kesini

Pada aku yang nyata

Pijakan kakimu pada bumi nan indah ini

Dalam setiap langkah kecil yang dilalui ada keindahan

Lihatlah indah itu

Tutup matamu pada apa yang tak indah

Lepaskanlah dahagamu

Rentangkanlah tanganmu

Rasakan hembusan angin yang menerpa

Pun angin pada angin yang kuat

Tetaplah berdiri tegak tak goyah

Jangan takluk pada keadaan tapi taklukan dirimu

Carilah siapa engkau

Lihatlah siapa engkau

img_3218
Jangan bayangan yang kau kejar
Karena ada aku yang nyata

Bayanganmu hanya menipumu

Membuat kau khilap

Membuat kau lupa bahwa langkah kecilmu itu indah

Membuat kau hanya ingat impian besarmu

Lihatlah aku

Aku yang sebenarnya nyata pada dirimu

My Father


Saya mau mulai menulis tentang Ayah saya dan perjalanan hidupnya hingga di usia 74thn.

Bismillahirohmanirahim
Ayah saya seorang dosen di salah satu universitas negeri. Menengok usia dia saat ini dapat dikatakan ayah merasakan hidup dari Presiden RI ke 1 hingga sekarang. Ayah lahir di tanah Tapnuli Selatan, Sumetera Utara tepatnya kota Panyabungan. Hidup dan dibesarkan oleh neneknya yang tidak bisa menulis dan membaca. Bahkan untuk dapat mengaji, Ayah yang mengajarkan beliau. 

Rumah Ayah hanya selangkah kaki dari rumah kakekku. Kakek bersama isteri dan anak-anaknya. Kakek seorang yang mapan, sebagai seorang pedagang emas, pada saat itu. Nenekku telah meninggal saat Ayah masih bayi. Karena itulah yang merawat Ayah dan 1 orang abangnya serta 1 orang adik perempuannya adalah neneknya. Sebagai petani, nenek hidupnya penuh keterbatasan, seringkali untuk makan Ayah harus ke kebun liar memetik daun singkong untuk dimasak. Pesan nenek pada Ayah, Ayah harus bisa sekolah yang tinggi. Selepas sekolah dasar, Ayah didaftarkan masuk pesanter, kala itu pesanter tidak seperti sekarangan yang menggabungkan ilmu agama dengann kurikumlum umum, melainkan hanya belajar ilmu agama. Kakekku menginginkan Ayah menjadi guru mengaji dan orang yang memimpin doa. Saat itu, menjadi pemimpin doa merupakan orang yang sangat terhormat. Akan tetapi neneknya memaksakan diri untuk memasukkan Ayah pada sekolah umum. Sampai akhirnya, Ayah berhasil menyelesaikan SMA. Kala akan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, tanpa banyak pikir Ayah mendaftar pada “ikatan dinas” untuk dapat kuliah di perguruan tinggi negeri di kota Bogor. Ayah merantaulah ke tanah jawa hingga hari tua nya ia habiskan di tanah jawa ini. Banyak teman-teman Ayah yang enggan untuk mendaftar pada ikatan dinas karena harus menjadi pegawai negeri kelak. Ayah, dengan keterbatasan biaya tidak mau berpikir jauh, baginya yang terpenting bisa sekolah hingga perguruan tinggi, sebagaimana pesan nenek untuk sekolah setinggi-tingginya.

Ayah, yang selalu mengajarkah saya tentang filosofi hidup. Mengajarkan saya bahwa keberhasilan, cita-cita itu kaki dan tangan kita sendiri yang menjemput. Hidup dalam keterbatasan dengan memandang ayahnya serta adik-adik tirinya makan daging tidak mengecilkan hatinya. Tidak menjadikannya marah dan berontak hingga membuat onar. Adik-adiknya menyebutkan “abang lomo”, abang yang lembut dan baik hati. Ayah telah berjuang mengubah nasib hidup, mengangkat derajat hidupnya. Sampai akhirnya Ayah menjadi panutan bagi keluarganya bahkan bagi orang-orang di kampungnya. Satu hal yang saya tanggap dari semua cerita masa kecil Ayah. Ayah tidak pernah mengasihi hidupnya yang penuh keterbatasan, tetapi ia lebih menonjolkan rasa keberhasilannya melewati, melawan keterbatasan yang ada untuk menjadi sesuatu yang lebih baik bagi hidupnya.

(To be continue)

#kisahAyah

#filosofi_hidup

Aku dan Kalian


Aku yang hadir terakhir diantara kalian. Kalian yang telah lebih dulu merasakan kepusingan dan kejelimetan hari-hari. Aku sadar aku orang baru diantara kalian. Tapi aku bukan hadir untuk menambah kepusingan kalian.

Sungguh aku berusaha untuk memahami kalian. Memahami sifat kalian. Mungkin sulit untuk kalian terima karena aku jauh dari harapan kalian. Harapan bahwa dengan kehadiranku, beban kalian akan berkurang. Ternyata salah, begitukah dimata kalian?

Apa yang dapat kalian harapkan dengan waktu yang singkat. Aku dapat mengingat semua permasalahan yang ada jauh sebelum aku datang? Mengambil segala beban yang telah kalian pikul selama ini? Aku bukan seorang malaikat tentunya. Bukan juga seorang cenayang yang seketika dapat memahami semua hal.

Aku juga perlu belajar, perlu banyak diberitahu.

Kalian tidak suka?

Mungkin saja. Aku juga pernah merasakan itu. Saat aku ada pada posisi kalian. Menerima orang baru, yang harus aku sebut atasan.

Mungkin kalian belum banyak melewati banyak hal dalam hidup. Mungkin kacamata kalian berbeda denganku.

Tapi mohon maaf, bukan aku tidak ingin segera mengambil beban kalian tapi aku sendiri sedang berperang dengan diriku untuk menerima kenyataan bahwa semua ini tidak seindah yang aku bayangkan.

Dan maaf dariku, karena aku benar-benar tidak akan mengambil beban itu. Karena bagiku sudah cukup. Aku akan kembali ke duniaku. Dunia yang tidak lebih baik dari dunia kalian. Tapi pada dunia itu aku lebih menikmati hari.

Kalian tidak terbebani kok dengan semua ini. Hanya kalian ingin semua lebih ringan saja.

 

 

Senandung Untuk Mama


Senandung Cerita Untuk Mama

 

Apa kabar engkau? Sudah lama kita tidak saling berdebat. Sudah lama engkau tidak marah padamu. Mungkin lebih tepatnya engkau ngambek padaku. Masih teringat di benakku, engkau menemani hari-hari saat aku terbaring sakit. Masa-masa itu telah lama berlalu. Masa yang tak mungkin kita ulangi lagi. Semua tidak mungkin lagi terjadi. Hingga tak teasa telah banyak waktu yang berlalu, enam tahun. Aku masih tetap sama dengan sedikit perbedaan dari sebelum engkau pergi. Ingin rasanya aku menanyakan kabarmu secara langsung, mendengar kembali suaramu memanggilku. Tapi apa daya tidak mungkin lagi kulakukan.

 

Enam tahun, begitu banyak cerita yang terjadi, tentangku, tentang keluarga kita. Dapatkah engkau dari kejauhan disana menyaksikan? Atau engkau telah asyik dengan kehidupan barumu, yang konon lebih indah.

 

Bolehkah aku bercerita?

Akan kuceritakan pada alam semesta ini.

Pada bintang-bintang di langit.

Pada bulan yang sedang bersinar dengan benderang.

Sebelum aku memulai cerita, kupanjatkan semoga alam semesta ini menyampaikan ceritaku ini kepada engkau.

Engkau yang berada jauh disana.

 

Besok akan menjadi hari yang istimewa untukku. Hari dimana yang konon merupakan awal dari sebuah kehidupan. Hidup yang dapat menjadi surga dunia atau neraka dunia. Sungguh masih ada rasa takut aku untuk melangkah. Tapi akupun tidak berkehendak untuk mundur. Andai engkau ada disampingku mungkin akan ada ketenangan dalam gemuruh hati ini. Engkau pasti akan memastikan bahwa semua akan berjalan dengan lancar. Engkau pasti akan menyiapkan segala sesuatunya untukku agar aku mengawali lembar kehidupan ini dengan baik.

 

Andai engkau sempat berkenal dengannya, dengan laki-laki yang akan mengajakku untuk memulai lembar kehidupan ini, engkau pasti akan menyukainya. Menyukainya dengan segudang pertanyaan sebelumnya. Pertanyaan klasik tentang bibit, bebet, bobot. Pertanyaan yang akan membuat kita berdebat yang mungkin akan berakhir dengan saling berdiam lalu saling berlalu.

 

Engkau pasti ingin tahu dimana aku bertemu dengan laki-laki itu.

 

Aku baru bertemu dengannya, setelah empat tahun kepergianmu. Terlalu lama. Terlalu lama aku sendiri. Terlalu lama aku asyik dengan duniaku kesendirianku. Engkau masih ingat dulu engkau selalu tidak memperbolehkanku untuk pergi jalan-jalan apalagi melakukan perjalanan sendiri. Begitu engkau pergi, aku mulai melakukan travelling. Dimulai dari ingin melupakan kesedihan hingga menjadi suatu keharusan. Aku memulai perjalanan dengan pergi ke Bali. Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kali ke pulau Bali. Merasakan kebebasan yang selama ini takut aku lakukan karena aku takut engkau khawatir. Demi menjaga perasaan engkau, aku selalu urung untuk melakukan perjalanan.

 

Engkau tahu, aku bisa sampai ke Korea. Suatu negeri yang tak pernah terbayangkan aku akan sampai ke negara tersebut. Merasakan salju jatuh di tanganku. Sekelibat aku ingat engkau, ingin mengajak engkau ke negara tersebut suatu hari nanti. Atau mungkin ke negara yang dekat saja, Singapura atau Malaysia, sebagaimana aku mengajak kekasih hatimu ke negara tersebut. Dia tersenyum selama perjalanan itu. Mungkin dia sama seperti aku, membayangkan engkau hadir bersama kami melakukan perjalanan itu.

 

Aku terlalu sibuk dengan travelling. Tapi tidak hanya itu kesibukanku. Aku sibuk mengejar karir. Karir yang entah apa itu menurut pandangmu pastinya. Berpindah-pindah perusahaan bagai kutu loncat. Pindah-pindah kerja yang selalu membuat engkau senewen padaku. Pasti kita sudah sibuk berdebat. Berdebat mengenai definisi karir. Dimana bagiku, berkarir bukan harus terus menerus berada pada satu kantor tapi cukup dengan berkonsentrasi pada satu bidang. Menjadi banker, padahal dulu aku sangat menentang engkau dengan tidak mau bekerja di Bank. Ironisnya sekarang aku mencintai dunia perbankan dan ingin terus berkarir pada dunia itu.

 

Engkau tahu, lima tahun itu bukan waktu yang singkat. Tentu bagiku, waktu itu sungguh lama karena begitu banyak yang aku lewati. Termasuk tentang kisah cintaku. Sampai akhirnya aku bertemu dengan laki-laki itu. Lelaki yang satu suku denganku, ah, engkau pasti sangat senang. Impian dan doamu dulu kala terkabulkan.

 

Dia.

Dia seorang lelaki yang tidak muda lagi. Dia pun bukan lelaki yang masih bujang tapi tenang dia seorang yang lajang. Dia pun bukanlah laki-laki yang memiliki strata sosial tinggi, hanya seorang laki-laki biasa. Karena yang aku lihat hanyalah ketulusan hatinya.

Dia, yang sekelibat begitu saja hadir mengisi hari-hariku. Mengubah kesunyian menjadi keriaan yang menarik. Tidaklah dia seorang yang sempurna.Debat adalah hal yang mewarnai hubungan kami. Tidak jarang kami bertengkar. Tapi aku telah belajar dari kehidupanmu.Aku belajar untuk bertahan, belajar untuk memahami, belajar untuk mengerti, belajar untuk mengungkapkan isi hatiku. Engkau yang telah mengenalku sejak dulu, pasti tahu bahwa aku bukannya orang yang sabar. Sama seperti dirimu. Tapi aku belajar untuk sabar, belajar untuk menunggu.

 

Kami memiliki dunia yang berbeda, melewati kehidupan yang berbeda pada masa lampau. Satu persamaan diantara kami, kami sama-sama pribadi yang keras dalam memegang prinsip. Aku tahu, butuh suatu perjuangan untuk melaraskan sifat kami.

Dia. Lelaki yang sabar menghadapiku, senantiasa membimbing dan mengemong aku dalam menjalani hari-hariku.

 

Engkau tahu, selama ini sulit aku menemukan lelaki yang dengan sabar menerima aku. Dengan sabar memberikan pengertian kepadaku atas segala tindakan yang dilakukan. Apa aku sebegitu sulit untuk diterima apa adanya? Aku selalu berpikir, aku yang salah hingga aku mengubah sifat-sifatku. Tentunya dengan susah payah, karena aku hanya bisa merendamnya, membuatnya jadi lebih tertampilkan dengan cantik. Tapi dibalik itu semua sifat-sifat itu masih tetap ada dan sudah tentu belum ada yang dapat menerimaku apa adanya.

 

Bersamanya aku merasa tenang, merasa aman. Dapatkah aku sebut itu cinta?

 

Engkau masih ingat, saat kita berdebat, ah, lebih tepatnya selalu berdebat tentang mengapa engkau memilih dia sebagai kekasih hatimu. Dia yang menjadi ayahku. Engkau selalu tidak mau menjawab, karena engkau selalu sibuk menceritakan kekesalan hatimu padanya. Padahal kami, anak-anakmu sangat tahu, engkau tidak bisa jauh darinya. Kami sangat tahu engkau sangat bergantung padanya. Tetapi selalu engkau gengsi untuk mengatakan hal tersebut. Tapi dari semua itu aku belajar darimu, mama, belajar untuk memilih laki-laki yang tepat. Laki-laki, yang kepadanya aku bisa bergantung padanya. Bukan sekedar materi aku bisa bergantung tetapi segala hal dalam hidup ini.

 

Mama,

Tahukah engkau, setiap malam aku berdoa kepada Tuhan agar Dia mengirim laki-laki yang mampu mengerti aku, yang menyayangiku dengan tulus, yang akan menyayangi keluargaku.

 

Mama,

Apakah Tuhan menyampaikan pesanku kepadamu? Agar engkau membantuku dari tempatmu berada agar aku segera menemukan lelaki tersebut. Berkali-kali aku menitipkan pesan tersebut melalui doa-doaku. Agar ada seseorang yang tulus menjagaku hingga akhir hayatku. Seperti ayah menjaga mama hingga akhir hayat mama.

 

Aku merasa semua doa itu sampai, semua pesanku sampai padamu.

Aku tahu bahwa engkau turut memilihkan lelaki itu untukku. Menggerakkan hatinya untuk menemukanku. Menggerakan hatiku untuk menemukannya.

 

Mama,

Besok aku akan menikah dengan laki-laki tersebut. Laki-laki yang dalam keyakinanku engkau pilihkan untukku. Siapkah aku? Menjadi seorang isteri yang layak, selayak engkau. Mampukah aku menjadi seorang ibu? Selayak engkau menjadi ibu bagi kami. Ibu yang tidak pernah luput memperhatikan kami. Ibu yang bekerja membantu penghasilan keluarga agar kami dapat bersekolah dengan layak, agar kami dapat berpakaian dengan layak, agar kami dapat merasakan juga apa yang teman-teman kami lainnya rasakan, tetapi di satu sisi engkau tetap memasak untuk kami.

Mampukah aku?

 

Mama,

Andai engkau masih berada disini. Menggengam tanganku sebelum sesaat ijab kabul nanti. Mendampingiku di pelaminan. Menemaniku pada malam ini sambil mendengarkan petuah-petuahmu tentang rumah tangga. Membantu aku untuk berhias esok hari.

 

Malam ini, aku yakin engkau akan hadir esok hari. Tidak seorangpun akan melihatmu, bahkan aku tidak mungkin melihatmu. Tapi aku akan merasakan kehadiranmu disisiku. Mengatakan bahwa semua akan baik-baik aja. Bahwa semuanya akan terlewati. Bahwa apapun yang terjadi suka duka merupakan warna dari sebuah rumah tangga.

 

Mama,

Maafkan aku yang baru mengabulkan permintaan terakhirmu sesaat sebelum ajal menjemput.

Maafkan aku yang membuat engkau menunggu begitu lama.

 

 

#DearMama

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DearMama yang diselenggarakan Nulisbuku.com dan Storial.co

Settle Down


Being single is fabalous. That’s for me.

Ceritaku masih, musik yang mengalun pada setiap pagi masih tetap sama. Bukan lagu “Bapak mana” yang dinyanyikan oleh

Trio Ubur-ubur tapi lagu “menikah kapan?” yang dinyanyikanoleh orang sekitar.

Tebak umurku berapa? Banyak yang tidak percaya saya sudah berusia 35tahun dan belum memiliki anak. Gimana mau punya anak bapaknya aja masih belum ketemu. Mungkin masih di Jonggol atau di Bekasi, saking jauhnya gak ketemu-ketemu.

Apakah saya gelisah di usia yang matang ini meski belum bisa dikatakan tua belum jua menikah. Mengapa harus gelisah? Nikmati aja. Persetan dengan cerita teman-teman yang bahkan sudah memiliki 3 anak yang sudah mulai ABG. Aku sebut mereka itu pernikahan dini. Begitulah pembelaan diri saya. Toh pernikahan tidak menjamin seorang wanita lantas menjadi bahagia. Menurutku pribadi kebahagiaan itu diciptakan oleh diri sendiri.

Sejak itu aku mulai menciptakan kebahagiaanku sendiri. Mulai dari melakukan perjalanan-perjalanan kecil murah meriah. Bergaul dengan teman-teman yang lebih muda. Mencari pekerjaan yang bisa buat saya enjoy sampai akhirnya aku menjadi finanial independently. 

Aku memulai dengan melakukan travelling sendiri. Menjelajah tempat yang baru pertama kali dikunjungi. Aku pergi dengan grup backpacker yang notabenenya tidak ada yang dikenal. Dan sudah tentu pergi travel dengan sahabat sekaligus partner in crime. Meskipun belum seluruh pulau di Indonesia yang didatangi. Meski belum seluruh dunia disambangi. Tapi cukuplah untuk seorang pegawai bank yang memiliki cuti yang terbatas. Setidaknya bisa sampai ke Sydney.

Perjalanan selalu memberikan kenangan tersendiri. Oh apakah kenangan tentang cinta lokasi? Terlalu picik kalau hidup hanya sebatas percintaan asmara. Banyak hal-hal yang Tuhan ciptakan dengan begitu indah selain asmara. Setiap momen perjalananku dalam menjelajahi kota-kota asing selalu memberikan letup-letupan keasyikan sendiri. Bertemu dengan stranger, ngobrol berjam-jam bahkan melakukan perjalanan bersama atau sekedar mendapatkan teman bersantap siang di tempat yang asing.

Ini salah hal yang indah bagiku

My leisure thing
My leisure thing

Duduk di pantai sambil memandang laut hingga kejauhan merupakan salah satu kemewahan bagiku. Bersantai tanpa harus memikirkan pekerjaan.

Ini hanya bagian kecil yang bisa dilakukan saat menjadi single. Pasti timbul pertanyaan lalu kalau di hari- hari biasa apa yang kamu lakukan? Kesepiankah kamu? Bosankah kamu?

Aku tipikal orang yang selalu mencari cara untuk menyenangkan hati. Kalau bosen, biasanya pergi ke mall untuk nonton sendiri atau window shopping atau mungkin mencoba makanan baru sendiri. Awkward? Tentu awalnya, tetapi lama-lama menikmati. Sambil berharap dapat kenalan.

Loh, katanya menikmati being single, kok berharap dapat kenalan. Sejauh kaki melangkah berdua itu lebih menyenangkan sudah tentu. Memiliki pasangan dalam berbagi rasa itu jauh lebih indah. Apakah kita akan bahagia dengan memiliki pasangan? Tentu saja tapi kebahagiaan bukan diukur dengan memiliki pasangan. Memiliki pasanagan adalah bonus hidup. Hadiah keindahan dari Tuhan pun dengan perasaan cinta adalah hadiah. Kenapa juga hadiah? Karena kita tidsk bisa memilih kepada siapa kita akan jatuh cinta, sama seperti hadiah kita tidak bisa memilih untuk mendapatkan sesuatu hadiah yang kita inginkan. Semua adalah kejutan.

Lalu kapan akhirnya aku memutuskan untuk menerima hadiah dari Tuhan? Saat semua terasa telah cukup. Cukup sudah melakukan travelling sendiri, cukup menikmati penghasilan sendiri tanpa harus berbagi dengan orang yang bukan keluarga, cukup bergaul tanpa batas waktu semaunya dan kapan saja aku mau, cukup menikmati kesendirian, dimana tidak perlu memikirkan dandanan saat weekend, bebas tidur seharian, mau mandi atau tidak yang nyium baunya diri sendiri ini.

Saat rasa puas sudah hadir saat itu aku memutuskan untuk menagih hadiah cinta dan pernikahan pada Tuhan. Aku tidak akan meminta pada siapapun. Cukup sama Tuhan. Sudah pasti Dia akan memberikan hadiah yang terbaik.

Hadiah itu sudah hadir. Semua terjadi begitu saja. Semua berjalan begitu saja. Sayangnya aku terlalu sendiri terkadang lupa bagaimana berbagi, bagaimana mengerti, bagaimana memahami isi kepala orang lain yang baru dikenal. Sepertinya semua itu tidak semudah yang aku bayangkan. Bukan karena orang tersebut memiliki tabiat buruk. Bukan juga karena ia begitu menyebalkan hanya karena terbiasa menyelesaikan sendiri menjadi tidak sabar menunggu dia menyelesaikan suatu hal untukku. Ini yang aku sebut aku tidak bisa berbagi. Saat seperti itu ingin rasanya aku lari menjauh, kembali membiarkan aku menjadi single lagi.

Fase hidup itu terus bergulir dan tidak mungkin seseorang itu berada di fase hidup yang itu-itu saja.

Demi cinta yang Tuhan berikan, aku kumpulkan kekuatan untuk bertahan, aku ikat kakiku untuk tidak berlari meski sudah sangat ingin aku berlari.

Aku tatap wajah mentari pagi yang seakan-akan mengatakan “segitu saja kamu menyerah? Bukankah kamu kemarin yang berdoa untuk mendapatkan orang tersebut? Bukankah kamu yang bilang kalau kamu sudah siap?”

Lunglai aku menatap mentari dengan tatap aku mampu mengangguk mengatakan “iya”.

Disinilah aku berdiri

Mengikatkan kaki

Menguatkan hati

Untuk bertahan pada cinta yang Tuhan berikan

Yes, I’m settle down of my life to you.

You that God send to me. And let God settle up it for us.

image