Senandung Untuk Mama

Senandung Cerita Untuk Mama

 

Apa kabar engkau? Sudah lama kita tidak saling berdebat. Sudah lama engkau tidak marah padamu. Mungkin lebih tepatnya engkau ngambek padaku. Masih teringat di benakku, engkau menemani hari-hari saat aku terbaring sakit. Masa-masa itu telah lama berlalu. Masa yang tak mungkin kita ulangi lagi. Semua tidak mungkin lagi terjadi. Hingga tak teasa telah banyak waktu yang berlalu, enam tahun. Aku masih tetap sama dengan sedikit perbedaan dari sebelum engkau pergi. Ingin rasanya aku menanyakan kabarmu secara langsung, mendengar kembali suaramu memanggilku. Tapi apa daya tidak mungkin lagi kulakukan.

 

Enam tahun, begitu banyak cerita yang terjadi, tentangku, tentang keluarga kita. Dapatkah engkau dari kejauhan disana menyaksikan? Atau engkau telah asyik dengan kehidupan barumu, yang konon lebih indah.

 

Bolehkah aku bercerita?

Akan kuceritakan pada alam semesta ini.

Pada bintang-bintang di langit.

Pada bulan yang sedang bersinar dengan benderang.

Sebelum aku memulai cerita, kupanjatkan semoga alam semesta ini menyampaikan ceritaku ini kepada engkau.

Engkau yang berada jauh disana.

 

Besok akan menjadi hari yang istimewa untukku. Hari dimana yang konon merupakan awal dari sebuah kehidupan. Hidup yang dapat menjadi surga dunia atau neraka dunia. Sungguh masih ada rasa takut aku untuk melangkah. Tapi akupun tidak berkehendak untuk mundur. Andai engkau ada disampingku mungkin akan ada ketenangan dalam gemuruh hati ini. Engkau pasti akan memastikan bahwa semua akan berjalan dengan lancar. Engkau pasti akan menyiapkan segala sesuatunya untukku agar aku mengawali lembar kehidupan ini dengan baik.

 

Andai engkau sempat berkenal dengannya, dengan laki-laki yang akan mengajakku untuk memulai lembar kehidupan ini, engkau pasti akan menyukainya. Menyukainya dengan segudang pertanyaan sebelumnya. Pertanyaan klasik tentang bibit, bebet, bobot. Pertanyaan yang akan membuat kita berdebat yang mungkin akan berakhir dengan saling berdiam lalu saling berlalu.

 

Engkau pasti ingin tahu dimana aku bertemu dengan laki-laki itu.

 

Aku baru bertemu dengannya, setelah empat tahun kepergianmu. Terlalu lama. Terlalu lama aku sendiri. Terlalu lama aku asyik dengan duniaku kesendirianku. Engkau masih ingat dulu engkau selalu tidak memperbolehkanku untuk pergi jalan-jalan apalagi melakukan perjalanan sendiri. Begitu engkau pergi, aku mulai melakukan travelling. Dimulai dari ingin melupakan kesedihan hingga menjadi suatu keharusan. Aku memulai perjalanan dengan pergi ke Bali. Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kali ke pulau Bali. Merasakan kebebasan yang selama ini takut aku lakukan karena aku takut engkau khawatir. Demi menjaga perasaan engkau, aku selalu urung untuk melakukan perjalanan.

 

Engkau tahu, aku bisa sampai ke Korea. Suatu negeri yang tak pernah terbayangkan aku akan sampai ke negara tersebut. Merasakan salju jatuh di tanganku. Sekelibat aku ingat engkau, ingin mengajak engkau ke negara tersebut suatu hari nanti. Atau mungkin ke negara yang dekat saja, Singapura atau Malaysia, sebagaimana aku mengajak kekasih hatimu ke negara tersebut. Dia tersenyum selama perjalanan itu. Mungkin dia sama seperti aku, membayangkan engkau hadir bersama kami melakukan perjalanan itu.

 

Aku terlalu sibuk dengan travelling. Tapi tidak hanya itu kesibukanku. Aku sibuk mengejar karir. Karir yang entah apa itu menurut pandangmu pastinya. Berpindah-pindah perusahaan bagai kutu loncat. Pindah-pindah kerja yang selalu membuat engkau senewen padaku. Pasti kita sudah sibuk berdebat. Berdebat mengenai definisi karir. Dimana bagiku, berkarir bukan harus terus menerus berada pada satu kantor tapi cukup dengan berkonsentrasi pada satu bidang. Menjadi banker, padahal dulu aku sangat menentang engkau dengan tidak mau bekerja di Bank. Ironisnya sekarang aku mencintai dunia perbankan dan ingin terus berkarir pada dunia itu.

 

Engkau tahu, lima tahun itu bukan waktu yang singkat. Tentu bagiku, waktu itu sungguh lama karena begitu banyak yang aku lewati. Termasuk tentang kisah cintaku. Sampai akhirnya aku bertemu dengan laki-laki itu. Lelaki yang satu suku denganku, ah, engkau pasti sangat senang. Impian dan doamu dulu kala terkabulkan.

 

Dia.

Dia seorang lelaki yang tidak muda lagi. Dia pun bukan lelaki yang masih bujang tapi tenang dia seorang yang lajang. Dia pun bukanlah laki-laki yang memiliki strata sosial tinggi, hanya seorang laki-laki biasa. Karena yang aku lihat hanyalah ketulusan hatinya.

Dia, yang sekelibat begitu saja hadir mengisi hari-hariku. Mengubah kesunyian menjadi keriaan yang menarik. Tidaklah dia seorang yang sempurna.Debat adalah hal yang mewarnai hubungan kami. Tidak jarang kami bertengkar. Tapi aku telah belajar dari kehidupanmu.Aku belajar untuk bertahan, belajar untuk memahami, belajar untuk mengerti, belajar untuk mengungkapkan isi hatiku. Engkau yang telah mengenalku sejak dulu, pasti tahu bahwa aku bukannya orang yang sabar. Sama seperti dirimu. Tapi aku belajar untuk sabar, belajar untuk menunggu.

 

Kami memiliki dunia yang berbeda, melewati kehidupan yang berbeda pada masa lampau. Satu persamaan diantara kami, kami sama-sama pribadi yang keras dalam memegang prinsip. Aku tahu, butuh suatu perjuangan untuk melaraskan sifat kami.

Dia. Lelaki yang sabar menghadapiku, senantiasa membimbing dan mengemong aku dalam menjalani hari-hariku.

 

Engkau tahu, selama ini sulit aku menemukan lelaki yang dengan sabar menerima aku. Dengan sabar memberikan pengertian kepadaku atas segala tindakan yang dilakukan. Apa aku sebegitu sulit untuk diterima apa adanya? Aku selalu berpikir, aku yang salah hingga aku mengubah sifat-sifatku. Tentunya dengan susah payah, karena aku hanya bisa merendamnya, membuatnya jadi lebih tertampilkan dengan cantik. Tapi dibalik itu semua sifat-sifat itu masih tetap ada dan sudah tentu belum ada yang dapat menerimaku apa adanya.

 

Bersamanya aku merasa tenang, merasa aman. Dapatkah aku sebut itu cinta?

 

Engkau masih ingat, saat kita berdebat, ah, lebih tepatnya selalu berdebat tentang mengapa engkau memilih dia sebagai kekasih hatimu. Dia yang menjadi ayahku. Engkau selalu tidak mau menjawab, karena engkau selalu sibuk menceritakan kekesalan hatimu padanya. Padahal kami, anak-anakmu sangat tahu, engkau tidak bisa jauh darinya. Kami sangat tahu engkau sangat bergantung padanya. Tetapi selalu engkau gengsi untuk mengatakan hal tersebut. Tapi dari semua itu aku belajar darimu, mama, belajar untuk memilih laki-laki yang tepat. Laki-laki, yang kepadanya aku bisa bergantung padanya. Bukan sekedar materi aku bisa bergantung tetapi segala hal dalam hidup ini.

 

Mama,

Tahukah engkau, setiap malam aku berdoa kepada Tuhan agar Dia mengirim laki-laki yang mampu mengerti aku, yang menyayangiku dengan tulus, yang akan menyayangi keluargaku.

 

Mama,

Apakah Tuhan menyampaikan pesanku kepadamu? Agar engkau membantuku dari tempatmu berada agar aku segera menemukan lelaki tersebut. Berkali-kali aku menitipkan pesan tersebut melalui doa-doaku. Agar ada seseorang yang tulus menjagaku hingga akhir hayatku. Seperti ayah menjaga mama hingga akhir hayat mama.

 

Aku merasa semua doa itu sampai, semua pesanku sampai padamu.

Aku tahu bahwa engkau turut memilihkan lelaki itu untukku. Menggerakkan hatinya untuk menemukanku. Menggerakan hatiku untuk menemukannya.

 

Mama,

Besok aku akan menikah dengan laki-laki tersebut. Laki-laki yang dalam keyakinanku engkau pilihkan untukku. Siapkah aku? Menjadi seorang isteri yang layak, selayak engkau. Mampukah aku menjadi seorang ibu? Selayak engkau menjadi ibu bagi kami. Ibu yang tidak pernah luput memperhatikan kami. Ibu yang bekerja membantu penghasilan keluarga agar kami dapat bersekolah dengan layak, agar kami dapat berpakaian dengan layak, agar kami dapat merasakan juga apa yang teman-teman kami lainnya rasakan, tetapi di satu sisi engkau tetap memasak untuk kami.

Mampukah aku?

 

Mama,

Andai engkau masih berada disini. Menggengam tanganku sebelum sesaat ijab kabul nanti. Mendampingiku di pelaminan. Menemaniku pada malam ini sambil mendengarkan petuah-petuahmu tentang rumah tangga. Membantu aku untuk berhias esok hari.

 

Malam ini, aku yakin engkau akan hadir esok hari. Tidak seorangpun akan melihatmu, bahkan aku tidak mungkin melihatmu. Tapi aku akan merasakan kehadiranmu disisiku. Mengatakan bahwa semua akan baik-baik aja. Bahwa semuanya akan terlewati. Bahwa apapun yang terjadi suka duka merupakan warna dari sebuah rumah tangga.

 

Mama,

Maafkan aku yang baru mengabulkan permintaan terakhirmu sesaat sebelum ajal menjemput.

Maafkan aku yang membuat engkau menunggu begitu lama.

 

 

#DearMama

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DearMama yang diselenggarakan Nulisbuku.com dan Storial.co

Author: Isma Miranda

Saya Tak ada yang istimewa. Seorang bankir yang senang menulis. Mencoba bertarung di arena kehidupan di Jakarta. Tak indah Tak juga sedih Tapi Jakarta mengajarkan saya untuk bertarung. Saya Hanyalah seorang perempuan yang terus belajar tentang cinta. Cinta kepada Tuhan yang saya wujudkan dengan cinta kepada apa yang saya jalani dan alami.

2 thoughts on “Senandung Untuk Mama”

Leave a reply to celoteh .:tt:. Cancel reply

Cerita Mukidi

Tertawa Itu Hemat

Musim Semi

berharap hangat itu sampai ke hatimu begitu juga cintaku

Ine Punya Cerita

Just a simple talking between me, my life and myself. :)

Indie Hero

Brian Marggraf, Author of Dream Brother: A Novel, Independent publishing advocate, New York City dweller

De Ēntín

Just another WordPress.com weblog

Legal Banking

Learning about Indonesian Legal Banking

Just on My Point of View

celoteh .:tt:.

- menulis saja -

KUPU-KUPU AKSARA

Lemaskan jemari, bebaskan pikiran dan biarkan aksara menyusun sendiri petualangannya

Kamera Kata

..mengkristal waktu bersamamu

WordPress.com

WordPress.com is the best place for your personal blog or business site.