Saatnya Melepas Rindu


“Tolong beri saya waktu lagi. Masih ada beberapa hal yang perlu saya sampaikan.”
“Berapa lama?”
“Tergantung berapa lama lagi dia akan datang menemui saya.”
“Akan saya sampaikan kepada Sang Penguasa, bila ia berikan izin akan saya tunggu.”

Orang itu, seseorang yang berwajah teduh pergi beranjak. Langkahnya begitu cepat hingga melesat dalam sekelebat pandangan. Ia menarik nafasnya masih tersisa, rasanya sesak dan tersengal-sengal. Tapi sulit sekali ia mengungkapkan apa yang ia lihat, apa yang ia obrolkan dengan orang itu. Orang yang tidak ia kenal tapi ia ketahui maksud kedatangannya.

Disamping dia duduk suaminya, mereka sedang sama-sama menonton televisi. Ia merasa sedang bermimpi barusan.

“Yah, tadi mama ketiduran yah?”
“Iya. Kok bangun sih mama? Mau pindah ke kamar?”
“Engga, nanti saja.”

Oh ternyata itu mimpi benaknya berkata. Mimpi yang terasa sungguh nyata. Ia benar-benar merasa sedang berbicara dengan orang tersebut, orang yang berwajah teduh itu. Yang muncul secara tiba-tiba dan pergi begitu saja setelah ia berkata meminta waktu.

“Kenapa ma?” suami bertanya, membuyarkan lamunannya. Ia mulai mempertimbangkan untuk bercerita pada suaminya tentang mimpi yang baru saja ia alami.
“Yah…” lama ia menjedahkan kata, lidahnya kelu untuk berkata hingga yang tercetus dari bibirnya…
“Mama kayaknya sakitnya serius yah?” hanya itu yang mampu keluar dari mulutnya.
“Mungkin kenapa memang?”
“Iya, mama sudah tidak bisa merokok.”
“Yah emang udah waktunya kita berhenti merokok, kan kita sudah tua, sudah seharusnya jaga kesehatan.”

Pikiran mulai berkecamuk, melayang kepada anak gadisnya yang sedang sibuk mempertaruhkan diri menaklukkan Jakarta. Ia belum juga menikah sampai saat ini. Apa yang menjadi penghalang jodohnya. Ia mengingat-ingat, ia tak pernah berhenti mendoakan jodoh untuk anaknya. Tiba-tiba ada perasaan rindu.

“Yah, Lika minggu ini pulang tidak ke rumah?”
“Mama sms aja tanya.”
“Udah kemarin, waktu mama bilang sakit, ia bilang sih mau pulang minggu ini.”
“Yah udah ditunggu aja.”

Sedih ia melihat anak gadis semata wayangnya. Penyakit yang anak gadisnya alami sangat menjadi beban pemikirannya. Tapi ia yakin akan sembuh. Kemarin ia sudah mulai merasa bahagai karena Lika, anak gadisnya sudah mulai mau minum obat yang ia siapkan. Pasti berat rasanya bagi Lika. Tapi anaknya tidak mau merepotkannya dan membebaninya. Melihat Lika kembali tertawa sudah cukup baginya sebuah jawaban bahwa Lika mampu menghadapi semua cobaan dia.

Terbesit dalam benaknya tentang kematian. Entah datang dari mana pikiran itu padanya. Ia mulai memikirkan sanggupkah Lika bertahan tanpa dirinya. Sanggupkah suaminya hidup tanpa dirinya. Tiba-tiba ia merindukan Sang Pencipta.

“Ma tidur yuk!” ajakan suaminya membuyarkan lamuannya.

Lalu ia beranjak dari sofa tempat televisi berada menuju kamar.

“Kata Sang Penguasa, anda mendapatkan waktu itu.” Tiba-tiba orang itu muncul kembali.
“Sampaikan terima kasih saya kepada Sang Penguasa. Kata suami saya dia akan datang besok.”

***

“Apakah dia sudah datang menemui anda?”
“Sudah. Baru saja saya antarkan ia pergi untuk kerja bahkan saya siapkan bekal untuknya.”
“Syukurlah. Jadi anda sekarang sudah lega?”
“Ya saya bahagia. Ia belikan saya jeruk bali, kamu tahu jeruk bali?” katanya seraya menunjuk jeruk yang berada di atas meja.
“Jeruk yang ia beli memang tidak semanis yang ayahnya belikan. Tapi cukup membuat saya bahagia. Kami semalam mengobrol. Ia tidak banyak membantah kata-kata saya. Ia tidak mengeluarkan kejudesannya. Sungguh manis. Meskipun tidak semanis ketika ia masih remaja.
“Anda sudah puas.”
“Masih banyak yang saya khawatirkan tentang dia. Sampai detik ini ia belum sembuh dari penyakitnya. Kamu tahu tidak apakah dia akan memiliki anak nanti?”
“Saya tidak tahu Bu. Itu rahasia Sang Pencipta.”
“Kamu tahu tidak kapan dia akan menikah? Dengan siapa? Apakah suaminya nanti akan menyayangi saya?”
“Itu rahasia Sang Pencipta juga Bu. Sungguh saya tidak tahu.”
“Jadi apa yang kamu ketahui.”
“Tidak ada.”
“Jadi untuk apa kamu datang kesini?”
“Untuk menjemput anda menemui Sang Penguasa.”
“Tapi dia belum menikah. Nanti siapa yang akan membantunya saat menikah, siapa yang akan mengajarinya mengurus anak bila saya pergi menemui Sang Penguasa? Atau nanti saya akan kembali lagi?”
“Dia, Sang Penguasa Maha Mengetahui dari segala yang ada di muka bumi ini. Ia tahu tanpa anda, anak anda sudah mampu berdiri, kuat dan tabah di mata Sang Penguasa. Jadi tidak perlu anda merisaukan itu.”
“Iya, dia bercerita sudah memiliki tempat tinggal atas namanya sendiri. Tapi dia bilang 2011 baru jadi. Saya lega mendengarnya. Tapi saya tetap khawatir karena ia belum menikah.”
“Tenang saja. Semua ada waktunya.”
“Boleh saya tanya sesuatu?”
“Apa Bu?”
“Kenapa sekarang?”
“Karena ini waktunya. Anak anda yang anda khawatirkan jarang berdoa untuk dirinya. Untuk jodohnya, baru beberapa bulan ini ia mendoakan dirinya untuk mendapatkan jodoh. Dari dulu yang ia doakan hanyalah anda dan suami anda. Kebahagiaan anda terutama. Ia selalu mendoakan agar anda dan suami anda ditempatkan disisi Sang Penguasa, mendapat tempat istimewa.”

Ia hanya terdiam mendengarnya. Lika, anaknya selalu judes kepadanya. Mungkin bukan judes, cenderung menjawab asal-asalnya bila ditanya. Cenderung diam bila diajak membahas sesuatu. Tidak ia sangka anaknya tidak pernah berdoa untuk dirinya sendiri.

“Bahkan ia sering lupa bahwa ia sakit. Ketika ia sakit yang pertama ia ingat adalah anda. Ia takut anda akan sakit mendengar penyakitnya. Dan kembali ia berdoa bukan untuk kesembuhannya tapi agar anda dan suami anda tidak akan menderita mendengar ia terkena penyakit.”
“Kenapa?”
“Karena ia sangat menyayangi anda, hanya tidak tahu bagaimana caranya.”

Dia hanya terdiam. Tak ada lagi pertanyaan yang ingin ia lontarkan. Sontak ia terbangun. Ternyata ia kembali bermimpi. Mimpi yang terasa nyata. Ia lirik jam di dinding kamar, sudah memasuki waktu ashar. Ia beranjak untuk mengambil air wudhu. Ia lihat suaminya pun ikut tertidur, ia bangunkan suaminya.

Sekali lagi dalam sholatnya ia panjatkan doa untuk anaknya tercinta, agar sembuh dari penyakitnya, agar mendapatkan jodoh yang baik menurut agama, agar anaknya bahagia.

Setelah sholat ia melihat suaminya melintas, mengambil sisir, menghalang-halanginya yang sedang mengaca, lalu suaminya keluar dari kamar.

“Bu…” orang itu datang lagi. Ia hanya menoleh lalu mengangguk.
“Sudah waktunya. Tempat istimewa permintaan anak anda sudah siap.”

Ia tarik nafasnya yang terakhir dalam-dalam. Lalu menghembuskannya perlahan-lahan.

“Selamat tinggal semua, selamat tinggal anakku, selamat tinggal suamiku. Aku bahagia. Lihatnya aku tutup semua dengan senyum indah.”

Ia tergeletak begitu saja dalam keadaan tengkurap menghadap kiblat. Suaminya tiba-tiba datang. Sontak suaminya panik berlari, berusaha membalikkan tubuhnya yang sudah mulai kaku. Suaminya tidak sanggup membalikkan tubuhnya. Suaminya kembali berlari ke tetangga sambil meraih telepon.

“Lika cepat pulang mama pingsan.” Tangisnya menutup kata-kata yang keluar hingga menjadi tidak jelas.

Tetangga mulai berkumpul dirumahnya. Suaminya masih panik. Tidak sampai lima menit ia menutup matanya lebih rapat tanpa celah lalu tersenyum dengan indah.

Ia telah pergi menemui Sang Kholik, tempat dimana kebahagiaan itu berada. Ia bukan tercabut nyawanya tetapi ia pergi untuk melepas rindu kepada Sang Kholik di tempat yang istimewa yang dipesan oleh anak-anaknya.

Innalilahi Wainnaillaihi rojiun

* I dedicate this story for my lovely mom….
Nothing else that I can do now…just pray for a special place for u in heaven.. and telling all people how great u are.
Even though I never told you…now I tell u through God that I LOVE YOU *