Alkisah Pangeran Kodok dan Putri Paus II

Sambungan dari ALKISAH PANGERAN KODOK dan PUTRI “POPE” PAUS

Pangeran kodok benar-benar merasa bingung, bimbang ia untuk memutuskan untuk kembali menjadi kodok. Baginya sungguh menyenangkan menjadi seekor cumi-cumi. Tak mungkin ia menyalahkan takdir yang telah ditoreh padanya menjadi seorang Pangeran Kodok. Ia harus memerintah kerajaannya. Itu takdir. Tak sungguh sulit ia enyahkan pesona laut yang baru ia lihat. Magnet yang menyedot dirinya untuk selalu bertemu dan menemani Putri Paus.

Pada suatu hari yang cukup cerah, matahari bersinar dengan bersahabat, semilir angin menggoyangkan pohon-pohon kelapa di pinggir pantai. Pangeran Kodok terpaku di bibir pantai, memandang tanpa batas pada laut lepas. Tak ada yang menolak bila dikatakan laut itu memiliki keindahannya sendiri. Tak kalah indah dengan kesegaran air yang mengalir di sungai. Dengan syahdu ia memanggil Putri Paus, hanya dalam hati ia memanggil, ia yakin putri pasti mendengarnya.

“Pope…pope…pope…” panggilnya dalam hati
“Pope aku merindukanmu.”

Seiring dengan panggilan itu ia memanjatkan doa kepada Sang Penguasa Alam, Sang Pemegang Takdir, agar ia dapat terus mencintai Putri Paus. Cinta yang tulus tanpa pengharapan.

Ombak laut bergemuruh seakan mengungkapkan kemarahan. Muncul di permukaan laut wajah Putri Paus yang ia rindukan. Seketika itu Pangerang Kodok berubah kembali menjadi cumi-cumi.

“Cumi, mengapa kamu selalu merindukanku.” Tanya Pope.
“Entahlah.”
“Duniamu sudah indah, mengapa masih terus mencariku.”
“Entahlah.”
“Ah kamu selalu saja menjawab dengan entah.”
“Rindu itu tak kunjung pudar Pope.”
“Tapi rindu itu dapat dikendalikan. Dunia kita lain Cumi. Kamu di daratan aku di lautan.”
“Selama aku bisa menjalankan kedua dunia ini, aku akan terus menjalankannya. Selama mantramu tidak hilang.”
“Apakah orang-orang di kerajaanmu tidak mencarimu?”
“Tidak. Mereka enjoy aja dengan semua keadaan saat ini.”

Di sisi lain Putri Paus merasa heran dengan tindakan Pangeran Kodok. Dia bingung dengan hatinya sendiri. Aneh rasanya bisa mencintai seekor Kodok yang bukan berasal dari bangsanya. Cinta itu benar-benar misteri. Entah pada siapa cinta itu akan berlabuh. Hanya sampai disitu yang mampu Putri Paus terjemahkan dari segala rasa yang ada. Tak sampai akalnya mampu berpikir akankah cinta mereka mampu bersatu.

Mungkin kalau ini sebuah cerita dongeng mereka akan bersatu dan hidup bahagia selamanya. Tapi ini bukan cerita dongeng Cinderella. Ini hanya sebuah kejanggalan hidup, keanehan bagi dunia, seekor paus jatuh cinta pada seekor kodok.

“Cumi, tinggalkanlah aku.” Pinta Pope dengan berat hati.
“Kenapa? Kamu tidak suka dengan keberadaanku disampingmu?”
“Bukan itu. Kamu punya kehidupan lain, dunia lain. Bukan disini tempatmu.”
“Aku tidak mampu meninggalkanmu.”
“Bukan…bukan tidak mampu Pope, tapi belum mampu. Rindu itu sering menyiksaku.”
“Pasti di duniamu sudah hadir seekor Putri Kodok yang cantik jelita?”
“Iya. Tapi apa yang aku rasakan terhadapmu sungguh berbeda dengan apa yang aku rasakan terhadapnya.
“Tapi dia yang nyata bagimu Cumi.”

Pun Pangeran Kodok tak mampu memutuskan untuk meninggalkan Putri Paus. Ia tidak ingin melihat Putri Paus bersedih, kesepian tidak bahagia seperti pertama kali ia bertemu. Tapi segala sesuatu harus ada ujungnya.

“Pope, aku pamit ya. Ada beberapa hal yang harus aku urus di kerajaanku.”
“Iya cumi.”
“I love you.”
“Iya.”
“I’m gonna miss you a lot.”
“hehehehe.”
“Selama aku tidak ada menemanimu, carilah kesenanganmu yah. Jangan merenung aja.”
“Tentu Cumi. Aku akan berenang-renang mengarungi samudera.”
“I’m gonna miss you too.”

Lalu Pangeran Kodok pun kembali ke peradabannya, Sungai Mempesona.

Begitu banyak kesibukan yang harus dilakukan oleh Pangeran Kodok. Ia terus menerus menahan diri untuk tidak datang di pantai dan memanggil Putri Paus. Kerajaan ini sedang tidak dapat ia tinggalkan. Ia sadar harus belajar mengendalikan rasa rindunya. Ia harus bisa memberi kesempatan kepada Putri Paus agar ia bertemu dengan Pangeran Paus.

Dalam doanya ia selalu panjatkan agar Putri Paus selalu sehat, dan segera dipertemukan dengan Pangeran Paus yang akan membahagiakannya. Tak juga rindu itu memudar, semakin kuat dan semakin mendebarkan hati Pangeran Kodok. Ia hanya belajar menahan rasa. Ia sadar tak selamanya cinta itu harus saling memiliki.

Putri Paus tidak sadar kali itu adalah kali terakhir dia bertemu dengan Pangeran Kodok. Sudah berbulan-bulan ia tidak mendengar panggilan Pangeran Kodok di bibir pantai. Ia merindukannya. Tapi apa daya ia tidak bisa ke daratan. Ia hanya bisa menunggu, menunggu dan menunggu. Berharap ada panggilan sayang dari Pangeran Kodok.

Setelah sekian lama, Putri Paus sadar bahwa Pangeran Kodok telah mampu mengambil keputusan untuk meninggalkannya. Ada rasa sedih menyergap hatinya, tapi ia sadar semua akan berlalu karena takdir telah memisahkan cinta mereka.

Putri Paus tetap merasa bahagia karena ia tahu pernah ada sebuah cinta yang indah hinggap di hatinya. Bahwa ia pernah mencintai dan dicintai dengan cara yang paling indah. Ia tidak lagi putus asa dan yakin suatu hari nanti akan ada cinta untuk dirinya sendiri. Akan ada kehidupan baru yang ditakdirkan untuknya.

“Selamat tinggal Cumi-cumiku. Aku akan selalu merindukanmu.” Batin Putri Paus.

Pada belahan bumi yang lain, tempat Pangeran Kodok berada, sayup-sayup ia mendengar perkataan Putri Paus. Pelan dalam hati ia menjawab.

“Aku tidak pergi Pope, tapi membiarkan dirimu menemukan kebahagiaan lain, kebahagiaan yang sepadan dan yang ditakdirkan untukmu. Aku akan selalu mencintaimu.”

—-end—-

Author: Isma Miranda

Saya Tak ada yang istimewa. Seorang bankir yang senang menulis. Mencoba bertarung di arena kehidupan di Jakarta. Tak indah Tak juga sedih Tapi Jakarta mengajarkan saya untuk bertarung. Saya Hanyalah seorang perempuan yang terus belajar tentang cinta. Cinta kepada Tuhan yang saya wujudkan dengan cinta kepada apa yang saya jalani dan alami.

15 thoughts on “Alkisah Pangeran Kodok dan Putri Paus II”

  1. Kalau mau dibuat happy ending kan bisa aja, misalnya putri paus mencium kodok dan kodok berubah jadi paus jantan. Rupanya kodok itu pernah terkena kutukan penyihir jahat. Hehehe… 😀

Leave a reply to Miranda Modjo Cancel reply

Cerita Mukidi

Tertawa Itu Hemat

Musim Semi

berharap hangat itu sampai ke hatimu begitu juga cintaku

Ine Punya Cerita

Just a simple talking between me, my life and myself. :)

Indie Hero

Brian Marggraf, Author of Dream Brother: A Novel, Independent publishing advocate, New York City dweller

De Ēntín

Just another WordPress.com weblog

Legal Banking

Learning about Indonesian Legal Banking

Just on My Point of View

celoteh .:tt:.

- menulis saja -

KUPU-KUPU AKSARA

Lemaskan jemari, bebaskan pikiran dan biarkan aksara menyusun sendiri petualangannya

Kamera Kata

..mengkristal waktu bersamamu

WordPress.com

WordPress.com is the best place for your personal blog or business site.